2025
KEYSTONE 2025, Bangun Karakter Mahasiswa UPH Siap Jadi Pemimpin Transformasional.

Menjadi pemimpin bukan sekadar soal memimpin orang lain atau memberi arahan kepada sebuah tim. Seorang pemimpin yang kuat adalah mereka yang terlebih dahulu mampu memimpin dirinya sendiri dengan integritas dan kesadaran penuh. Hal inilah yang ditekankan dalam KEYSTONE 2025, program kepemimpinan dasar yang wajib bagi mahasiswa tahun pertama Universitas Pelita Harapan (UPH) yang kembali hadir untuk membentuk mereka menjadi pemimpin yang tangguh dan unggul.
Pada hari kedua KEYSTONE yang digelar pada 8 Februari 2025 di Grand Chapel UPH, lebih dari 800 mahasiswa diajak menyelami dua sesi utama yang mendalam dalam dua sesi bertajuk ‘The Dark Side of Leadership’ dan ‘Emotionally Healthy Leaders’. Melalui kedua sesi ini, peserta tidak hanya belajar tentang teori kepemimpinan, tetapi juga diajak untuk memahami bahwa menjadi pemimpin yang baik bukan sekadar soal prestasi dan strategi, melainkan tentang keberanian menghadapi sisi gelap diri sendiri dan membangun kesehatan emosional yang kokoh.
Sisi Gelap Kepemimpinan dan Keberanian untuk Bertransformasi
Dalam sesi ‘The Dark Side of Leadership’ yang dibawakan oleh Arthur Chandra, M.A., M.Th., Director of Student Development & Alumni Engagement UPH, membuka wawasan para peserta tentang aspek kepemimpinan yang jarang dibahas namun sangat relevan dalam kehidupan nyata, yakni sisi gelap seorang pemimpin. Dalam sesi ini, Arthur menjelaskan bahwa di balik kesuksesan dan kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin, sering kali tersembunyi bayang-bayang emosi negatif yang muncul dari luka batin atau pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan. Baginya, menjadi pemimpin bukan hanya tentang keahlian dan pencapaian, tetapi juga keberanian menghadapi diri sendiri.
“Banyak pemimpin membawa trauma emosional seperti tekanan untuk selalu sempurna atau pengalaman diabaikan, yang tanpa disadari memengaruhi cara mereka memimpin. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa berkembang menjadi sifat egois, manipulatif, atau kecenderungan menghindari konflik yang pada akhirnya merusak hubungan dan keputusan kepemimpinan. Penting untuk kita untuk menyadari dan menghadapi sisi gelap dalam diri kita sendiri sebagai langkah awal dalam membangun kepemimpinan yang bertanggung jawab,” ungkapnya.
Dalam sesi tersebut, ia juga membagikan pengalamannya sendiri tentang bagaimana pola asuh di masa kecil membentuk gaya kepemimpinannya. Sejak kecil, ia diajarkan untuk menjadi laki-laki yang kuat dan tidak boleh menunjukkan emosi. Akibatnya, ia tumbuh menjadi pribadi yang terlihat baik di mata orang lain, namun sebenarnya menyimpan banyak perasaan yang tidak pernah diungkapkan.
Pengalaman pribadinya ini menggambarkan bagaimana luka emosional dapat memengaruhi kepemimpinan seseorang. Menyadari hal tersebut, ia memutuskan untuk berani menghadapi dan memperbaiki diri. Meski tidak mudah, langkah ini sangat penting untuk menjadi pemimpin yang lebih sehat secara emosional dan bertanggung jawab.
Sesi ini diakhiri dengan tes reflektif yang dirancang untuk membantu peserta mengenali sisi gelap kepemimpinan yang mungkin ada dalam diri mereka. Melalui tes ini, peserta dapat memahami bagaimana pengalaman masa lalu dan emosi yang belum terselesaikan dapat memengaruhi gaya kepemimpinan mereka. Melalui tes ini, peserta diharapkan dapat menyadari pentingnya menerima dan mengelola diri sendiri sebagai langkah awal dalam membangun kepemimpinan yang sehat dan bertanggung jawab.
Menjadi Pemimpin yang Sehat Secara Emosional
Selain menyadari sisi gelap diri sendiri, seorang pemimpin juga harus memiliki kesehatan emosional yang kuat agar mampu menghadapi tekanan dan menginspirasi orang lain. Hal ini ditekankan oleh Chrysan Gomargana, M.Psi., Psi., Dosen Fakultas Psikologi UPH, dalam sesi yang dibawakannya bertajuk “Emotionally Healthy Leaders”.
Menurutnya, seorang pemimpin yang sehat secara emosional memiliki tiga kemampuan utama, yaitu:
- Self-regulation – Kemampuan mengendalikan diri di bawah tekanan, seperti karet yang tetap fleksibel meski ditarik ke berbagai arah.
- Self-awareness – Kesadaran terhadap kekuatan, kelemahan, dan emosi diri sendiri.
- Growth mindset – Pola pikir yang terbuka terhadap perubahan dan pembelajaran.
“Kalau pemimpin tidak sehat secara emosional, maka ia akan seperti karakter utama dalam cerita yang buruk, plotnya akan berantakan. Mereka akan mudah tersulut emosi, sulit menangani konflik, dan kesulitan membangun hubungan yang sehat dengan tim. Inilah mengapa kesehatan emosional sangat penting dalam kepemimpinan,” jelas Chrysan.
Lebih lanjut, Chrysan juga memperkenalkan konsep React, Reflect, Respond, yaitu strategi menghadapi tekanan dengan cara tidak langsung bereaksi secara emosional, tetapi mengambil waktu untuk berpikir sebelum memberikan respons yang matang. Ia menggambarkan kesehatan emosional seperti latihan fisik, semakin sering dilatih, semakin tangguh seseorang dalam menghadapi tantangan.
Seorang pemimpin yang mampu mengendalikan emosinya, menyadari kekuatannya, serta memiliki pola pikir yang terus bertumbuh akan lebih tangguh dalam menghadapi tekanan dan mampu menginspirasi orang lain. Dengan melatih kesehatan emosional secara konsisten, pemimpin tidak hanya akan menjadi pribadi yang lebih kuat, tetapi juga menciptakan lingkungan yang positif dan produktif bagi tim yang dipimpinnya.
Kedua sesi dalam KEYSTONE tahun ini menegaskan bahwa kepemimpinan sejati bukan hanya tentang kemampuan mengarahkan orang lain, tetapi lebih dalam dari itu yakni tentang keberanian untuk menghadapi diri sendiri dan membangun kesehatan emosional yang kokoh.
Melalui KEYSTONE, UPH menunjukkan komitmennya dalam membentuk generasi pemimpin yang tangguh dan bertanggung jawab. UPH percaya bahwa kepemimpinan yang sejati harus berlandaskan pada integritas, kesehatan emosional, dan keberanian untuk menghadapi diri sendiri. Dengan prinsip inilah, UPH terus berkomitmen mendidik mahasiswanya menjadi pemimpin yang takut akan Tuhan, unggul dalam karakter dan kompetensi, serta siap membawa dampak positif bagi bangsa dan masyarakat.