NEWS & PUBLICATION

Jurusan Hubungan Internasional UPH & UPH CITI bersama dengan Kementerian Luar Negeri Menggelar Focus Group Discussion tentang Diplomasi Ekonomi

16/11/2015 Uncategorized

Jurusan Hubungan Internasional UPH & UPH CITI bersama dengan Kementerian Luar Negeri Menggelar Focus Group Discussion tentang Diplomasi Ekonomi

Diskusi ini secara spesifik membahas tiga isu utama yaitu ketahanan pangan Indonesia, produk-produk ramah lingkungan, dan penyelesaian sengketa perusahaan dan negara.

Diskusi ini secara spesifik membahas tiga isu utama yaitu ketahanan pangan Indonesia, produk-produk ramah lingkungan, dan penyelesaian sengketa perusahaan dan negara.

 

 

Jurusan Hubungan Internasional UPH, bekerja sama dengan UPH Center for International Trade and Investment (UPH CITI) dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menggelar sebuah Focus Group Discussion. Bertempat di UPH Executive Education Center, diskusi ini secara lebih spesifik, membahas tiga isu utama yaitu ketahanan pangan Indonesia, produk-produk ramah lingkungan, dan penyelesaian sengketa perusahaan dan negara. Sebagai rangkaian dari penelitian bersama, diskusi ini juga merumuskan langkah-langkah strategis apa yang harus diambil oleh Indonesia dalam hal diplomasi ekonomi, khususnya perdagangan dan investasi.

 

Diskusi tersebut menghadirkan tiga (3) narasumber utama, yaitu Prof. Bustanul Arifin, Ph.D., Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Sondang Anggraini, Staf Ahli Menteri Perdagangan bidang Diplomasi Perdagangan dan Dr. Makmur Keliat, pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia. Diskusi dimoderatori oleh Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPH.

 

Diskusi dimulai dengan penjelasan dari Prof. Bustanul yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki visi besar dalam hal pangan, namun ketahanan pangan saja tidak cukup. Bustanul juga menyoroti lambatnya perkembangan teknologi yang digunakan oleh pertanian di Indonesia menyebabkan, lambatnya peningkatan hasil panen makanan pokok  seperti padi, jagung, kedelai, dan gula. Melihat tahun 2004-2014, peningkatan hasil panen yang terjadi bukan karena perkembangan teknologi, tetapi dari perluasan lahan pertanian. Salah satu contoh lambatnya perkembangan teknologi ini adalah tidak diadopsinya bibit varietas unggul padi yang sudah dikembangkan pemerintah. ?Saat ini varietas unggul Inpari13 diserap rata-rata 3% atau kurang, dan kebanyakan petani masih menggunakan varietas lama seperti Ciherang, IR42, dan IR64? jelas Prof. Bustanul.

 

Hal-hal di atas menyebabkan harga beras Indonesia menjadi lebih mahal dibandingkan beras-beras impor. Sementara itu berdasarkan penelitian, harga pangan sangat mempengaruhi laju inflasi di Indonesia. Dengan demikian, masalah-masalah pangan tentu sangat terkait dengan diplomasi ekonomi dimana pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan strategis dalam hal perdagangan dan investasi. Sustainable Development Goals yang dicanangkan PBB juga disinggung oleh Prof. Bustanul. Tiga poin yang terkait pangan, yaitu mengentas kemiskinan, mengatasi kelaparan, dan menjamin hidup yang sehat untuk seluruh masyarakat harus menjadi perhatian utama. Akhirnya, Prof. Bustanul menutup penjelasannya dengan menyimpulkan bahwa perlu langkah yang inter-disiplin dalam menyelesaikan masalah-masalah pangan di Indonesia.

 

Selanjutnya, Sondang memberikan pemaparan mengenai diplomasi perdagangan Indonesia di forum-forum internasional. Pada level multitlateral, seperti Ministerial Conference World Trade Organization di Bali tahun 2013 menghasilkan sebuah kesepakatan dimana negara-negara masih diperbolehkan memberikan subsidi hingga 10% untuk bahan pangan pokoknya. Sementara itu di tingkat regional, saat ini negara-negara ASEAN termasuk Indonesia tengah berusaha melakukan harmonisasi kebijakan dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Namun demikian, ia menekankan sulitnya melakukan koordinasi antar lini pemerintahan sehingga seringkali menyebabkan Indonesia tidak bisa berbuat banyak pada tatanan internasional. Salah satu contoh misalnya kelengahan Indonesia untuk memasukkan produk-produk yang strategis untuk Indonesia ketika APEC membuat daftar produk-produk yang dinilai ramah lingkungan. Ia menyimpulkan perlunya koordinasi yang lebih baik, dan sebaiknya ada koordinator untuk masing-masing sektor sehingga Indonesia bisa melakukan diplomasi ekonomi yang lebih baik.

 

Berikutnya, Dr. Makmur Keliat memaparkan mengenai penyelarasan implementasi kebijakan antar lini pemerintahan. Menurutnya diplomasi merupakan ranah international relations, sehingga international relations tidak sama dengan international law. Oleh karena itu, Indonesia harus jeli mencari celah-celah pada hukum atau perjanjian internasional yang ada, dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan nasional Indonesia. Demi mewujudkan hal ini, Dr. Makmur menyarankan dibentuknya suatu diplomatic intelligence unit yang lintas sektoral, ad hoc, spesifik, dan dalam jumlah kecil untuk menghadapi isu-isu spesifik.

 

Di akhir sesi Prof. Aleksius menyimpulkan tiga hal yaitu perlunya koordinasi yang lebih baik, penguasaan isu-isu teknis harus diperkuat dan perlunya memiliki suatu rancangan yang baik sehingga bisa memberikan arahan yang jelas bagi diplomat Indonesia.

 

 

Diskusi ini digelar secara tertutup dan dihadiri oleh 15 peserta. Peserta berasal dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Mahasiswa Pascasarjana UPH, Universitas Paramadina, dan juga peneliti dari UPH dan UPH CITI. Masukan-masukan yang didapat dari Focus Group Discussion ini nantinya akan menjadi tambahan untuk memperkaya penelitian yang sedang berjalan. (of/rh)