Hadirkan Pelatihan, UPH Beri 12 Panduan Praktis Penanganan Pertama Kasus Kekerasan Seksual di Kampus.

Kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah masalah serius yang berdampak jangka panjang pada korban, baik fisik, emosional, maupun psikologis. Oleh karena itu, pemahaman yang tepat tentang penanganan kasus kekerasan seksual sangat penting. Universitas Pelita Harapan (UPH) berkomitmen menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung anggotanya dari kekerasan seksual.  

Untuk mendukung komitmen ini, Human Resource Development (HRD) dan Tim Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UPH menyelenggarakan Pelatihan Penanganan Pertama Kasus Kekerasan Seksual pada 25 Juli 2024. Pelatihan ini bertujuan memberikan pemahaman kepada warga kampus tentang cara merespons kasus kekerasan seksual dengan tepat. 

Dalam pelatihan ini, peserta diberikan panduan penting dalam menangani kasus kekerasan seksual oleh dua  narasumber yaitu Dr. dr. Natalia Widiasih, Sp.K.J. (K), M.Pd. Ked., sebagai Ahli Psikiatri Forensik, dan Nathanael Elnadus Johanes Sumampouw, M.Psi., M.Sc., Ph.D., sebagai Ahli Psikologi Forensik. Berikut ini adalah 12 tips penanganan pertama kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi: 

  1. Pahami definisi kekerasan seksual 

Menurut Dr. Natalia, seluruh staf akademik di perguruan tinggi perlu memahami definisi kekerasan seksual. Kekerasan seksual melibatkan ucapan atau perilaku yang memanipulasi dan menguasai seseorang untuk melakukan aktivitas seksual yang tidak diinginkan. Dr. Natalia menambahkan bahwa tindakan atau perkataan yang dianggap bercanda pun bisa berdampak serius. 

“Dulu, banyak yang menganggap kekerasan seksual hanya terjadi jika ada kontak fisik, seperti hubungan seksual atau meraba-raba. Namun kini, kita tahu bahwa komentar atau rayuan yang tidak diinginkan juga termasuk kekerasan seksual. Ada kekerasan seksual yang bersifat fisik (hands on) dan yang tidak fisik (hands off),” jelas Dr. Natalia. 

2. Pahami bentuk-bentuk kekerasan seksual 

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021, terdapat 21 bentuk kekerasan seksual yang perlu kita ketahui. Ini termasuk tindakan-tindakan seperti komentar atau rayuan yang tidak diinginkan, memaksa seseorang untuk melihat materi pornografi, mengirimkan pesan bernuansa seksual tanpa persetujuan, hingga kontak fisik seperti meraba-raba atau hubungan seksual tanpa persetujuan. Dengan memahami berbagai bentuk kekerasan seksual ini, kita dapat lebih waspada dan siap untuk mencegah serta menangani kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. 

3. Hati-hati dengan bahasa atau perkataan yang digunakan 

Dr. Natalia menekankan, salah satu bentuk kekerasan seksual yang sering terjadi adalah kekerasan verbal. Contoh sederhananya, seperti komentar “Rok kamu pendek banget ya, sengaja ya buat gangguin cowok-cowok?” Bahkan, pertanyaan yang tampaknya tidak berbahaya seperti “Oh, kamu sudah punya pacar ya? Hubungan kalian sudah sampai mana?” – juga bisa dianggap sebagai kekerasan seksual. Kita tidak pernah tahu bagaimana sensitivitas seseorang, sehingga penting menjaga kata-kata agar tidak menyinggung atau melukai perasaan orang lain. 

4. Jangan anggap remeh kekerasan seksual 

Dr. Natalia memandang bahwa kekerasan seksual sering kali dianggap remeh. Misalnya, ada yang mengatakan “Ah, gitu saja dilaporin, cuma dipegang sebentar.” Sikap seperti ini adalah victim blaming, di mana korban disalahkan atau masalahnya dianggap sepele. Setiap kasus kekerasan seksual harus ditanggapi dengan serius. Kita harus mendampingi dan mendengarkan korban, serta memahami apa yang diharapkan oleh korban dalam penanganan kasusnya.  

5. Kenali faktor-faktor risiko pelaku 

Dr. Natalia menilai bahwa kita perlu waspada terhadap kemungkinan besar terjadinya pengulangan tindakan kekerasan seksual oleh pelaku, terutama jika mereka berada di lingkungan yang menoleransi perilaku tersebut. Dengan memahami faktor-faktor risiko ini, kita dapat lebih waspada dan berusaha mencegah kekerasan seksual di lingkungan kampus. 

6. Hindari menyalahkan korban 

Hindari pandangan bahwa korban bertanggung jawab untuk menjaga dirinya sendiri. Ini adalah tanggung jawab bersama, termasuk kita sebagai masyarakat yang mendukung. Menyalahkan korban bukanlah solusi, sehingga kita harus menghapus ekspektasi bahwa korban selalu bisa menolak atau menghindar dari kekerasan seksual. 

7. Pahami respons seseorang yang menjadi korban 

Respons seseorang terhadap kekerasan seksual bisa berbeda-beda. Kadang kita mendengar orang berkata, “Kok dia bisa marah hanya karena itu?” atau “Katanya sudah mengalami pelecehan seksual atau diperkosa, tapi kok masih bisa terlihat bahagia?” Kondisi ini bisa terjadi karena setiap orang memiliki reaksi yang berbeda tergantung pada seberapa banyak dukungan sosial yang mereka miliki dan seberapa kuat mental mereka. Jadi, kita tidak boleh berpikir bahwa semua korban pasti depresi. 

 8. Asas praduga tak bersalah terhadap pelaku 

Dalam menangani kasus kekerasan seksual, kita harus menerapkan asas praduga tak bersalah, termasuk terhadap pelaku. Ini bukan berarti kita membenarkan perilakunya, tetapi kita memastikan bahwa pelaku juga mendapatkan haknya untuk proses yang adil dan objektif. Jika kita salah tuduh, itu bisa mencemarkan nama baik seseorang dan membawa kerugian material yang berkepanjangan. 

9. Fokus menangani laporan 

Sebagai seorang psikolog, Nathanael menambahkan bahwa ketika menerima laporan terjadinya kekerasan seksual, langkah pertama adalah menerima laporan tersebut tanpa langsung menilai apakah laporan itu benar atau tidak. Penting juga untuk memastikan bahwa pelapor merasa aman dan didukung, tanpa merasa tertekan atau diancam. Fokus utama adalah melindungi pelapor dan menangani kasusnya dengan serius. 

“Dalam upaya penanganan kasus seperti ini, kepentingan terbaik korban harus diprioritaskan, bukan kepentingan nama baik institusi. Respons awal yang efektif adalah memberikan rasa aman dan diterima, bukan dievaluasi. Jangan terlalu cepat mencari kronologis, karena kita bukan penyidik,” kata Nathanael. 

10. Hindari stereotip 

Ketika menangani kasus kekerasan seksual, kita harus memastikan bahwa penilaian awal terhadap seseorang, seperti cara berpakaian atau perilaku mereka; tidak memengaruhi cara kita menangani laporan tersebut. Pandangan ini harus kita kritik dan hindari. Jika Anda terlibat dalam penanganan kasus seperti ini, penting untuk mengembangkan perspektif gender yang adil dan berkeadilan. Hindari stereotip atau ekspektasi yang dapat memengaruhi respons Anda. 

11. Jadilah sahabat yang lebih banyak mendengar 

Pada tahap awal penanganan kasus kekerasan seksual, fokus utama adalah menenangkan dan mendukung pelapor, bukan langsung menentukan langkah-langkah atau memberikan saran. Stabilkan kondisinya terlebih dahulu agar dia merasa lebih tenang dan lega. Anda tidak perlu menjadi seorang psikolog untuk membantu. Terkadang, kehadiran sahabat atau seseorang yang mendengarkan dengan penuh empati sudah sangat berarti. Jangan langsung menghujani pelapor dengan nasihat atau perintah. Sebaliknya, berikan dukungan dengan mendengarkan dan menunjukkan kepedulian. 

12. Look, Listen, dan Link. 

Menurut Nathanael, ada tiga prinsip penting dalam menangani kasus kekerasan seksual, yaitu look, listen, dan link. Pertama look, artinya kita memperhatikan kondisi pelapor untuk memastikan mereka merasa aman dan nyaman. Tanyakan apa yang bisa Anda bantu tanpa mereka harus meminta secara langsung. 

Ketika pelapor sudah merasa sedikit lebih tenang, beri mereka kesempatan untuk bercerita sesuai keinginan mereka. Di tahap ini, fokuskan pada mendengarkan (listen) tanpa menilai kronologi kejadian serta biarkan mereka berbagi apa yang mereka rasakan dan butuhkan. 

Setelah mendengarkan, sambungkan (link) pelapor dengan pihak-pihak yang bisa membantu lebih lanjut, seperti satgas, urusan administrasi institusi, rohaniawan, atau dokter. Dalam prinsip ini, Anda bertindak sebagai jembatan untuk menghubungkan mereka dengan sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan mereka. 

 

Satgas PPKS UPH 

Dibentuk sejak 22 Desember 2022, Tim Satgas PPKS UPH berfungsi sebagai pusat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di UPH. Tim Satgas PPKS UPH terdiri dari empat divisi yang memiliki tugas pokok masing-masing. Pertama, Divisi Badan Pengurus Harian yang bertugas memantau keseluruhan kinerja tim Satgas PPKS UPH. Kedua, Divisi Survei dan Data yang bertugas melakukan survei kekerasan seksual paling sedikit satu kali dalam 6 bulan pada perguruan tinggi. Ketiga, Divisi Pencegahan bertugas memperkuat komunitas melalui berbagai kegiatan seminar, training, dan konsep lainnya. Keempat, Divisi Pelaporan dan Penanganan yang bertugas membuat alur pelaporan, menindaklanjuti laporan serta melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam pemberian perlindungan kepada korban dan saksi.  

Bila Anda mengalami, melihat, mendengar, atau mengetahui adanya kekerasan seksual di sekitar lingkungan kampus UPH, hubungi Tim Satgas PPKS UPH melalui satgas.ppks@uph.edu. 

Kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi adalah masalah serius yang membutuhkan penanganan yang hati-hati dan terstruktur. Melalui pelatihan ini, UPH memberikan pemahaman yang mendalam tentang berbagai aspek kekerasan seksual. Dengan upaya ini, diharapkan seluruh warga kampus dapat memberikan dukungan yang sesuai dan efektif dalam menghadapi kekerasan seksual, serta berkontribusi pada pencegahan dan penanganan masalah ini secara menyeluruh. 

Melalui acara Pelatihan Penanganan Pertama Kasus Kekerasan Seksual dan berbagai acara yang bermanfaat lainnya, UPH telah membuktikan komitmen dalam mendidik mahasiswa, memberikan wawasan baru, dan menginspirasi.  

UPH menghadirkan pendidikan unggul dan semangat kolaboratif, untuk memastikan mahasiswa siap menjadi lulusan yang takut akan Tuhan, profesional, dan berdampak positif bagi masyarakat.