18/11/2014 Uncategorized
description
Sesi pertama seminar ini berlangsung pada pukul 10.00 di Gedung D 502, UPH, yang dimoderatori oleh Dr. Henry Soelistyo Budi, SH, LLM, Dosen FH UPH.
![]() Dr. Henry Soelistyo Budi, SH, LLM, Dosen FH UPH (Moderator), Dubes Dr. Eddy Pramoto, Duta Besar Republik Indonesia untuk Jerman periode 2009-2013 dan Prof. Dr. Bintan R. Saragih, Dekan FH-UPH
|
Sesi pertama seminar ini berlangsung pada pukul 10.00 di Gedung D 502, UPH, yang dimoderatori oleh Dr. Henry Soelistyo Budi, SH, LLM, Dosen FH UPH. Sesi pertama akan membahas mengenai tinjauan tentang implementasi UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Dubes Dr. Eddy Pramoto menyampaikan materinya dari sisi analisis kristis terhadap Pasal 11 UUD 1945 dan permasalahan yang terkait dengan perjanjian internasional. Ia menekankan bahwa Indonesia belum memiliki politik dan sistem hukum yang secara tegas mengatur tentang perjanjian internasional. Sehingga dalam praktik nya telah menimbulkan tiga masalah utama yaitu pengertian dan definisi perjanjian internasional dalam hukum nasional yang belum solid, status hukum perjanjian internasional dalam hukum nasional masih belum jelas, dan konsep ratifikasi/pengesahan masih rancu dengan pengertian dalam hukum internasional.
Masyarakat Indonesia bahkan DPR masih belum memiliki pemahaman yang solid mengenai pengertian PI terutama perbedaan antara PI dan kontrak perdata. Ia menekankan empat prinsip yang perlu dipegang betul dalam memahami pengertian perjanjian internasional yaitu (1) subjek hukum internasional (antar negara, negara dan organisasi internasional, atau antar organisasi internasional), (2) tertulis, (3) diatur oleh hukum internatrional, dan (4) menimbulkan hak dan kewajiban.
Pada akhir penjeleasannya, Dr. Eddy Pramoto juga memberikan saran bahwa perlu adanya penyempurnaan Pasal 1 UU No 24 tahun 2000 dan pasal 11 UUD 1945 untuk menegaskan teori kombinasi dan menetapkan perjanjian internasional yang telah diratifikasi menjad hukum nasional. Juga pemerintah tetap perlu terus mengawasi dan berperan aktif dalam proses penyusunan dan pengesahan perjanjian interanasional.
Prof. Bintan R. Saragih berkesempatan menyampaikan materinya secara historikal dimana ia menjelaskan mengenai pengadaan dan implementasi Surat Presiden dari masa demokrasi terpimpin, masa orde baru dan masa reformasi. Pada masa Demokrasi Terpimpin yang cenderung otoriter dan Orde Baru yang cenderung ologarkis dan plutokratis, penerapan Surat Presiden dimanfaatkan untuk kepentingan dan kekuasaan dari pemimpinnya.
Dengan berakhirnya rezim Orde Baru, maka pada pemilu 1999 dibentuklah TAP MPR yang memberikan arahan kokoh dan jelas mengenai landasan politik luar negeri Indonesia. Didalamnya dijabarkan mengenai perwujudan poitik luar negeri yang berdaulat, bermartabat, bebas dan pro-aktif. Namun ia menyayangkan dalam UU No 24 Tahun 2000 tidak menyinggung sama sekali mengenai TAP MPR No IV/MPR/1999 ini sebagai arahan untuk menyusun pertimbangan, pasal-pasal dan penjelasan uumnya.UU No 24 tahun 2000 saat ini hanya didasarkan pada dua hal yaitu pasal 11 UUD 1945 yang terlalu ringkas dan Surat Presiden No 2826/HK/1960 yang sudah tidak ssuai lagi. Selain itu, ia juga menekankan bahwa implementasi UU NO 24 tahun 2000 lebih banyak didominasi oleh kepentingan dan desakan dari luar negeri. Salah satu bentuk ketidaksesuaian UU No 24 tahun 2000 ini adalah dari UU No 7 tahun 2007 mengenai perdagangan internasional.
Diakhir presentasinya, Prof. Bintan menyampaikan harapannya bahwa Indonesia hendaklah bisa menjadi negara yang bermatabat yang tidak bergantung dan dipengaruhi oleh negara luar. Dengan melakukan perbaikan terhadap hukum perjanjian internasional yang masih banyak kelemahan dan ketidakjelasan ini, diharapkan kelak Indonesia bisa menjadi negara yang dianggap oleh masyarakat internasional. (ca)
UPH Media Relations |